Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla,
Rabb semesta alam. Tiada yang berhak diibadahi kecuali Dia semata, yang
telah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab demi kebahagian
manusia di dunia dan di akhirat kelak. Dia-lah tempat meminta dan
bergantung dalam segala keadaan. Baik di saat suka maupun duka, di saat
senang maupun susah, di saat sehat maupun sakit. Dia-lah yang memberi
kesembuhan atas segala penyakit.
Salawat beserta salam kita ucapkan untuk
Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Nabi pembawa rahmat
untuk seluruh alam. Nabi yang amat mencintai umatnya, yang telah
menyuruh umatnya untuk memohon dan meminta pertolongan hanya kepada
Allah Azza wa Jalla. Semoga salawat juga terlimpah buat keluarga, para
sahabat beliau dan orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka sampai
hari kemudian.
Para pembaca yang kami muliakan, pada
kesempatan kali ini kita akan membahas peristiwa menyedihkan yang
melanda negeri kita; yang bila dilihat dari sisi syar’i lebih dahsyat
dari tsunami atau gempa yang memporak-porandakan gedung-gedung.
Peristiwa itu adalah musibah kehancuran dan robohnya aqidah umat
dilindas batu para dukun cilik. Betapa tidak, fitnah ini korbannya jauh
lebih dahsyat dari segala bencana. Betapa rapuhnya aqidah umat kita,
yang hanya dengan tiga batu kerikil milik tiga anak cilik saja mampu
merobohkannya. Bagaimana seandainya mereka dihadapkan kepada fitnah
Dajjal yang mampu menyuburkan bumi yang kering kerontang; menghidupkan
orang mati dan lainnya ? Tentu tidak bisa dibayangkan apa yang akan
terjadi dengan umat ini. jika mereka dihadapkan kepada fitnah yang
dimiliki Dajjal itu. Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla untuk
mengembalikan umat kepada agama yang lurus.
Perbuatan syirik itu telah menjadi berita
hangat dan tontonan serta menyita perhatian berbagai tokoh nasional.
Amat sedikit sekali yang mengomentari peristiwa tersebut dengan
nilai-nilai aqidah dan sebagian besar malahan menyalahkan pemerintah
terutama departemen kesehatan.
Di tengah-tengah kemajuan teknologi dan
keilmuan, ternyata dalam hal agama, kita masih primitif. Seharusnya yang
perlu menjadi perhatian pertama adalah pendidikan umat dengan ilmu
agama dan aqidah yang lurus. Agar mereka tidak dapat dihanyutkan oleh
berbagai kesyirikan yang diungkapkan dengan istilah-istilah yang
menyesatkan. Semoga kejadian ini menjadi pertimbangan berbagai pihak
dalam menentukan kebijakan sistem pendidikan kita ke depan. Sudah
terbukti bahwa ilmu-ilmu yang bersumber dari penelitian manusia tidak
mampu mengeluarkan dari keprimitifan dalam beragama.
Memang Nabi kita Shallallahu ’alaihi wa
sallam dari jauh-jauh hari sudah memperingatkan bahwa umat ini akan
kembali terjerumus ke dalam kesyirikan dan kesesatan umat-umat yang lalu
«
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ
وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ
لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ ». متفق عليه
“Sesunguhnya kalian akan mengikuti
kebiasaan umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sedepa
demi sedepa, sehingga seandainya mereka masuk lubang Dhab (sejenis
kadal), niscaya akan kalian ikuti”. [HR. Bukhâri dan Muslim]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda bahwa Allah Azza wa Jalla sangat membenci orang yang
melakukan kebiasaan jahiliyah:
عَن ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: ((أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللهِ ثَلاَثَة مُلْحِدٌ فِي
الْحَرَمِ وَمُبْتَغٍ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَمُطْلِبُ
دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُرِيْقَ دَمَهُ)). رواه مسلم
“Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Manusia yang paling dibenci Allah Azza wa Jallaada tiga; orang melakukan dosa di tanah haram, orang yang mencari kebiasaan jahiliyah dalam Islam dan orang yang mengincar darah seseorang tanpa hak untuk ia tumpahkan (membunuhnya)”. [HR. Muslim]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengubur kebiasaan jahiliyah itu di bawah telapak kakinya,
sebagaimana beliau nyatakan :
((أَلاَ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمِيْ مَوْضُوْعٌ)) رواه مسلم
“Ketahuilah segala sesuatu dari urusan jahiliah terkubur di bawah telapak kakiku ” [HR. Muslim]
Di antara kebiasaan jahiliyah yang dilakukan manusia di abad modern ini adalah kepercayaan kepada benda-benda mati. Di zaman jahiliyah manusia sering menggantungkan harapannya kepada benda-benda mati. Jika mereka menemukan sebuah batu
yang amat besar atau berbentuk menyerupai makhluk hidup, atau memiliki
warna yang agak asing atau bentuknya agak aneh, maka mereka meyakini
bahwa batu-batu itu memiliki keistimewaan. Jika ukurannya kecil mereka
membawanya pulang, jika tidak mereka mendatangi tempat batu itu. Mereka
berkeyakinan bahwa batu-batu itu dapat menangkal sihir, menghentikan
aliran darah atau memudahkan kelahiran. Ada yang digantungkan di leher
atau diikatkan di tangan dan di kaki wanita yang akan melahirkan. Ada
lagi batu yang disebut ”batu akik”, mereka yakini dapat
membuat diam seseorang yang mau marah, atau bahkan obat bagi penyakit
‘ain (mata jahat). Ada pula yang disebut batu zamrud, mereka yakini dapat mengobati penyakit ayan. Padahal semua itu adalah khurafat dan khayalan belaka.
Sebagaimana halnya al-Lâta adalah batu berhala
yang dianggap berkah atau sakti. Mereka juga mempertuhankan batu; jika
mereka menghadapi paceklik, kekurangan pangan, hujan tidak turun, atau
ditimpa wabah penyakit, mereka datang ke tempat batu-batu yang mereka
anggap berkah atau sakti.
Ibnu Katsîr berkata: “Al Lâta”
adalah batu besar berwarna putih yang diukir; di atasnya dibangun rumah
yang dihiasi kelambu dan dijaga; di sekelilingnya lapangan luas yang
dimuliakan oleh penduduk Thâif. Mereka membanggakannya di atas suku-suku
Arab lain [1].
Demikian pula jika mereka menemukan pohon besar
yang rindang daunnya, mereka menganggap sakti dan mereka duduk di
bawahnya, atau membawa sesajian ke sana, atau menggantungkan pedang
mereka pada dahan-dahannya. Menurut khayalan mereka, pohon itu dapat
memberi keberkahan dan kekuatan tertentu pada diri mereka atau
senjata-senjata mereka, sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadits
berikut ini:
عَنْ أَبِيْ
وَاقِدٍ اللَّيْثِيْ، قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَىْ حُنَيْنٍ وَنَحْنُ حُدَثَاءُ عَهْدٍ بِكُفْرٍ،
وَلِلْمُشْرِكِيْنَ سِدْرَةٌ يَعْكُفُوْنَ عِنْدَهَا وَيَنُوْطُوْنَ بِهَا
أَسْلِحَتَهُمْ، يُقَالُ لَهَا: ذَاتُ أَنْوَاطٍ، فَمَرَّرْناَ بِسِدْرَةٍ
فَقُلْنَا: ياَ رَسُوْلَ اللهِ إجْعَلْ لَناَ ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ
ذَاتُ أَنْوَاطٍ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
(اللهُ أَكْبَرُ! إِنَّهَا السُّنَنُ، قُلْتُمْ ـ وَالَّذِيْ نَفْسِيْ
بِيَدِهِ ـ كَمَا قَالَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلُ لِمُوْسَى: (إجْعَلْ لَنَا
إلهاً كَماَ لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ)
لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ”. [رَوَاهُ التِّرْمِذِيْ
وَصَحَّحَهُ]. هَذاَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
Dari Abu Waqid Al Laysie, ia berkata:
“Kami keluar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Hunain, saat
itu kami baru saja keluar dari kekufuran. Orang-orang musyrikin memiliki
sebatang pohon yang besar, mereka duduk di sisinya dan menggantungkan
senjata-senjata mereka padanya. Pohon itu disebut pohon Dzâtu Anwâth.
Lalu kami melewati sebatang pohon yang besar pula. Maka kami berkata:”Ya
Rasulullâh jadikanlah untuk kami pohon Zatu Anwâth, sebagaimana mereka
memiliki pohon Dzâtu Anwâth!” Rasululâh pun bertakbîr (Allâhu Akbar) Demi
Zat yang jiwaku berada ditangannya sesungguhnya ucapan kalian ini
sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa Alaihissallam: “Jadikanlah
untuk kami sembahan sebagaiman mereka memiliki sesembahan! Musa berkata:
sesungguhnya kalian kaum yang bodoh”. Sesungguhnya kalian akan
mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kalian“[HR Tirmidzi]
Sebagaimana halnya berhala mereka “Al-’Uzza”, Ibnu Katsîr berkata: “Al-’Uzza” adalah pohon yang dibangun rumah di bawahnya dan dihiasi kelambu. Orang-orang Quraisy mengagungkannya [2].
Banyak kisah tentang batu di masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tapi beliau maupun sahabat
tidak menjadikan ajimat maupun benda sakti seperti kisah-kisah berikut
ini:
1. Kisah Batu Khandak.
Berkata Amru bin ‘Auf: Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menggariskan kepada kami khandak (parit yang dalam) pada waktu perang
Ahzâb. Lalu ditemukan sebuah batu besar putih yang bulat. Batu tersebut
tidak bisa dihancurkan bahkan membuat alat-alat kami patah. Maka kami
menyebutkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu
Rasulullâh n menggambil linggis dari Salmân Al Fârisi dan beliau memukul
batu tersebut dengan sekali pukul. Maka, batu tersebut terbelah dan
mengeluarkan cahaya yang menyinari kota Madinah, bagaikan sinar lampu di
malam hari yang gelap gulita. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertakbir dan kaum Muslimin pun ikut bertakbîr. Kemudian dipukul
lagi untuk yang kedua kali, maka batu tersebut terbelah dan mengeluarkan
cahaya yang menyinari kota Madinah. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bertakbir dan kaum Muslimin pun ikut bertakbîr. Maka
Rasulullâh memukul lagi untuk yang ketiga kali, maka batu tersebut
terbelah hancur dan mengeluarkan cahaya yang menyinari kota Madinah.
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dan kaum
Muslimin pun ikut bertakbîr[3].
Para sahabat tidak menganggap sakti batu itu, atau menjadikannya sebagai ajimat, penangkal dan sebagainya.
2. Kisah Batu Yang Memberi Salam Kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Semasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Mekah sebelum
diangkat menjadi nabi; ada batu yang memberi salam kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau masih mengetahui batu tersebut,
tetapi beliau maupun para sahabat tidak pernah memungutnya atau
membawanya pulang untuk dijadikan penangkal atau alat terapi jika beliau
sakit.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
عَنْ جَابِرِ
بْنِ سَمْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: “إِنِّيْ َلأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَيَّ
قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ إِنِّيْ َلأَعْرِفُهُ الآنَ”. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari sahabat Jabîr bin Samrah, ia berkata bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Sesungguhnya
aku mengetahui sebuah batu di Mekah memberi salam kepadaku sebelum aku
diangkat menjadi nabi. Sesungguhnya aku mengetahuinya sampai sekarang” [HR. Muslim]
3. Batu Hajar Aswad.
Seluruh umat Islam sepakat bahwa Hajar Aswad adalah batu yang paling
mulia dari segala batu. Tapi tidak ada seorangpun dari para sahabat yang
menganggap sakti, apalagi minta kesembuhan kepadanya. Oleh sebab itu
Amirul Mukminin Umar bin Khatâb Radhiyallahu anhu saat menciumnya di
hadapan para kaum Muslimin, beliau berkata:
“إِنِّيْ
أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّيْ
رَأَيْتُ النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُقَبِّلُكِ مَا
قَبَّلْتُكِ”. رَوَاهُ الْبُخَارِيْ
“Sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau
adalah batu yang tidak memiliki mudharat dan tidak pula memberikan
manfaat. Jika seandainya aku tidak melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menciummu, tentu aku tidak akan menciummu”[HR Bukhari]
Hukum mencium Hajar Aswad hanya sekedar
mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang
disebutkan oleh sahabat Umar Radhiyallahu anhu. Tidak sebagaimana yang
diyakini oleh kebanyakan orang-orang yang berebutan untuk menciumnya,
bahwa Hajar Aswad dapat menyembuhkan penyakit, memurahkan rezki, dan
dugaan-dugaan khurafat lainnya.
4. Ka’bah Dan Maqâm Ibrâhîm.
Banyak anggapan dari sebagian orang-orang yang pergi haji dan umrah,
bahwa Ka’bah dan Maqâm Ibrâhîm memililki berbagai kesaktian, sehingga
mereka mengusab-usab bangunan Ka’bah dan Maqâm Ibrâhîm dengan tangan dan
kain mereka. Padahal tidak ada anjuran dalam agama tentang perbuatan
tersebut. Apalagi meyakini dapat memberikan berbagai keistimewaan kepada
manusia.
Syaikh al-’Utsaimin rahimahullah berkata:
“Amat disayangkan, sebagian orang menjadikan segala ibadahnya hanya
untuk bertabarruk (mencari berkah) semata. Seperti apa yang terlihat
bahwa sebagian manusia mengusap rukun (tiang) yamani lalu mengusapkan ke
muka atau dada. Artinya mereka menjadikan mengusap rukun yamani sebagai
tabarruk bukan untuk berta’abud (beribadah). Ini adalah sebuah
kebodohan” [4]. Lalu beliau menukil ungkapan Amîrul Mukminîn Umar bin
Khatab yang kita sebutkan di atas.
Tidak dipungkiri bahwa Ka’bah atau
Masjidil haram memiliki berkah. Tetapi mengambil berkah bukan dengan
mengusap-ngusap dinding masjid atau Ka’bah. Tetapi beribadah pada tempat
tersebut sesuai dengan ketentuan agama, seperti shalat, i’tikaf, tawaf,
atau berhaji dan umrah.
Demikian pula tentang kisah pohon kayu di
masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau maupun para
sahabat tidak menjadikannya sebagai tempat sakti yang dapat menyembuhkan
penyakit, seperti kisah-kisah berikut ini:
1. Kisah pohon yang merunduk
ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti dalam
perjalanan beliau ke Syam bersama paman beliau.
Para ulama sîrah (sejarah nabi)
menyebutkan bahwa saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
perjalanan ke negeri Syam bersama paman beliau Abi Thâlib, beliau selalu
dinaungi awan. Ketika berhenti di sebuah tempat di negeri itu, di dekat
rumah seorang Rahib (pendeta), beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam
disuruh paman beliau untuk menunggu barang dagangannya di pinggir jalan.
Tiba-tiba Rahib itu melihat sebatang pohon merunduk ke arah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menaunginya dari panas terik matahari.
Saat melihat hal tersebut, Rahib berkata dalam hatinya: ”Sesungguhnya
ini tidaklah terjadi kecuali pada seorang Nabi.” Lalu Rahib itu mengajak
mampir ke rumahnya, dan menyuruh Abu Thâlib membawa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam cepat-cepat pulang ke Mekah. Ia berkata: ”Anak ini
akan memiliki kemulian, jika orang-orang Yahudi mengetahuinya maka
mereka akan membunuhnya.” Rahib itu mengetahui hal itu dari kitab Taurât
dan Injîl yang dimilikinya [5].
Demikian kisah tersebut. Namun, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak menganggap pohon
itu keramat atau sakti.
2. Pohon Hudaibiyah.
Allah Azza wa Jallaberfirman dalam al-Qur’an:
لَقَدْ رَضِيَ
اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ
وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah Azza wa
Jallatelah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji
setia kepadamu di bawah pohon. Maka Allah Azza wa Jallamengetahui apa
yang ada dalam hati mereka, lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan
memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”.[al-Fath/48:18]
Tatkala Amîrul Mukminîn Umar bin Khatâb
melihat sebagian orang mendatangi tempat tersebut dan shalat di situ,
beliau menebang pohon tersebut untuk menentang perbuatan syirik[6].
3. Kisah Tangis Tiang Masjid Dari Batang Korma.
عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ يَسْتَنِدُ إِلَىْ جِذْعِ نَخْلَةٍ مِنَ سِوَارِي
الْمَسْجِدِ فَلَمَّا صُنِعَ الْمِنْبَرُ وَاسْتَوَى عَلَيْهِ اضْطَرَّبَتْ
تِلْكَ السَّارِيَةُ كَحَنِيْنِ النَّاقَةِ حَتَّى سَمِعَهَا أَهْلُ
الْمَسْجِدِ حَتَّى نَزَلَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَاعْتَنَقَهَا فَسَكَتَتْ . رَوَاهُ النَّسَائِيْ وَصَحَّحَهُ
الشَّيْخُ اْلأَلْبَانِيْ
“Dari Jâbir bin Abdillâh ia berkata:
“Jika Rasulullâh berkhutbah beliau bersandar kepada batang kurma di
salah satu tiang masjid. Tatkala mimbar telah dibuat dan beliau duduk di
atasnya, tiang tersebut menangis bagaikan rintihan seekor onta, semua
orang yang ada dalam masjid mendengarnya. Lalu Rasulullâh turun dan
mengusapnya, barulah ia diam”.
Dalam hadits ini disebutkan bahwa tiang
tersebut sedih karena tidak lagi menjadi sandaran Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Suara tersebut terdengar oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam beserta para sahabat. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengusap tiang itu, agar berhenti dari kesedihannya; bukan
karena untuk mencari berkah. Sebagaimana saat musim haji, betapa
banyaknya orang yang mengusap-ngusap dan berebut untuk shalat dekat
tiang tempat mu’adzin mengumadangkan azan di masjid Nabawi.
4. Kisah Pohon Yang Berjalan Kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits berikut:
عَنْ يَعْلَى
بْنِ مُرَّةَ الثَّقَفِيْ قَالَ: بَيْنَا نَحْنُ نَسِيْرُ مَعَهُ النَّبِيُ
فَنَـزَلْنَا مَنْـِزلاً فَناَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَجَاءَتْ شَجَرَةٌ تَشُقُّ اْلأَرْضَ حَتَّى غَشِيَتْهُ ثُمَّ
رَجَعَتْ إِلَى مَكَانِهَا فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَتْ لَهُ فَقَالَ هِيَ شَجَرَةٌ
اسْتَأْذَنَتْ رَبَّهَا عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تُسَلِّمَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنَ لَهَا …)). رَوَاهُ أَحْمَدُ
وَالْبَغَوِيْ فِيْ شَرْحِ السُّنَّةِ. وَقَالَ الشَّيْخُ اْلألْبَانِيْ:
صَحِيْحٌ لِشَوَاهِدِهِ [7].
Dari Ya’la bin Murrah ats-Tsaqafy, ia
berkata: “Ketika kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
suatu perjalanan, kami berhenti di suatu tempat, lalu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidur. Tiba-tiba datang sebatang pohon berjalan
membelah bumi sampai menaungi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kemudian ia kembali lagi ke tempatnya semula. Tatkala Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun, aku sebutkan hal tersebut kepada
beliau. Beliau berkata: ”Ia adalah pohon yang meminta izin pada tuhannya untuk memberi salam padaku, lalu Allah Azza wa Jalla mengizinkannya“. [8]
Nabi dan para shahabat tidak
mengkeramatkan pohon tersebut sebagaimana kebiasaan orang-orang terhadap
pohon-pohon yang biasa mereka anggap sakti, padahal pohon tersebut
tidak memiliki keluarbiasaan. Hanya karena sudah berumur ratusan tahun,
tidak tumbang ditiup kangin kencang, maka seolah-olah sering terdengar
suara-suara ghaib di situ. Atau berbagai kepercayaan khurafat lainnya
yang mereka buat-buat sendiri. Mereka tidak mengetahui bahwa suara ghaib
itu bisa suara jin yang tinggal di atas pohon itu.
5. Kisah Onta Yang Berbicara Kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:
عَنْ يَعْلَى
بْنِ مُرَّةَ الثَّقَفِيْ قَالَ بَيْناَ نَحْنُ نَسِيْرُ مَعَ النَّبِيْ
إِذْ مَرَرْنَا بِبَعِيْرٍ يُسْنَى عَلَيْهِ فَلَمَّا رَآه ُالْبَعِيْرُ
جَرْجَرَ فَوَضَعَ جِرَانَهَ فَوَقَفَ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيْنَ صَاحِبُ هَذَا اْلبَعِيْرِ فَجاَءَهُ
فَقَالَ بِعْنِيْهِ فَقَالَ بَلْ نَهِبُهُ لَكَ يَارَسُوْلَ اللهِ
وَإِنَّهُ ِلأَهْلِ بَيْتٍ مَا لَهُمْ مَعِيْشَةٌ غَيْرَهُ قَالَ أَمَّا
إِذَا ذُكِرَتْ هَذَا مِنْ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ شَكَا كَثْرَةَ الْعَمَلِ
وَقِلَّةَ الْعَلَفِ فَأَحْسِنُوْا ِإَليْهِ…)).
Dari Ya’la bin Murrah Ats Tsaqafy, ia
berkata: ”Ketika kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
suatu perjalanan. Kami melewati seekor onta yang sedang diberi minum.
Tatkala onta tersebut melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia
mengeluh dan meletakkan lehernya. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdiri dekatnya dan bertanya: ”Mana pemilik onta ini?” Lalu datanglah pemiliknya, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ”Juallah ia padaku!”
Lalu pemiliknya menjawab: ”Kami hadiahkan padamu ya Rasulullâh. Ia
adalah milik keluarga yang tidak memiliki mata pencaharian selain onta
ini.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sesungguhnya ia telah mengadukan tentang banyak bekerja dan kekurangan makanan, maka berbuat baiklah kamu kepadanya”.
Onta tersebut tidak pernah disaktikan
oleh pemiliknya, atau diambil kotorannya untuk penangkal atau pelaris
dagangan, apalagi dianggap sebagai wali/syaikh.
Dengan memperhatikan contoh-contoh di
atas, sangat nyata perbedaannya dengan sebagian manusia abad modern
dewasa ini. Meskipun disebut manusia modern, namun mereka mengangap
sakti berbagai macam barang seperti, keris, batu, pohon tua, kuburan,
sungai atau laut. Termasuk perabot rumah tangga, peningalan kuno,
binatang ternak, batu kali, kayu di hutan, bahkan kuburan sekalipun.
Demikian juga seandainya contoh-contoh di
atas terjadi di zaman sekarang, tidak bisa dibayangkan akibatnya.
Sebagian besar orang yang menyaksikan tentu akan mengkeramatkan batu,
pohon atau binatang itu dan menjadikannya sebagai tempat berundi nasib,
menyembuhkan penyakit, mencari jodoh, dan seterusnya.
Dan seandainya peristiwa-peristiwa itu
terjadi di hadapan orang-orang yang mengidap penyakit “TBK” (tahyul,
bid’ah dan khurafat), sangat mungkin mereka akan melakukan pemujaan atau
penyembahan
Maka sungguh amat mengherankan dan
menyedihkan kita, jika baru-baru ini, hanya sebuah batu kecil milik
seorang bocah cilik dapat melindas tauhid sebagian umat ini.
Demikian bahasan kita kali ini semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta segenap kaum muslimin. Wallâhu A’lam.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ ِإلاَّ أَنْتَ وَأَسْتَغْفَرك وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
01/Tahun XIII/Rabiul Tsani 1430/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
sumber : almanhaj.or.id
_______
Footnote
[1]. Tafsîr Ibnu Katsîr: 7/455.
[2]. Ibid.
[3]. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Ibnu Jarîr, Ibnu Abi Hâtim, Al-Baihaqi dll. Lihat “Ad Dûrur Mantsûr”6/574.
[4]. Al-Qaulul Mufîd: 1/129.
[5]. Lihat “Târikhuth Thabary: 1/520 dan “Al-Bidâyah wan Nihâyah”: 2/284.
[6]. Lihat “Al bida’ Wannahyu ‘anha” Ibnu Wadhah: 26.
[7]. “Misykâtul Mashâbîh”: 3/287.
[8]. Lihat; Musnad imam Ahmad: 29/106, Syarhussunnah: 6/454, Misykâtul Mashâbîh: 3/287.
baca selengkapnya di http://abangdani.wordpress.com