BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (موارث),
yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan –
mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan
maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya
hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang
masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau
apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.
Jadi
yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak
milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih
hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.
Sedangkanm
istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari
siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak
berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.
Sedangkan
Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan warisan sebagai berikut; soal
apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang
kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada
orang lain yang masih hidup.
Fiqih
Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang
oleh ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang
telah dipastikan kadarnya. Jadi disebut dengan
ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta warisan telah ditentukan
siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak, dan
jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan
B. TUJUAN KEWARISAN ISLAM
Adapun tujuan kewarisan dalam Islam dapat kita rumuskan sebagai berikut :
1. Penetapan
bagian-bagian warisan dan yang berhak menerima secara rinci dan jelas,
bertujuan agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikan antara ahli
waris. Karena dengan ketentuan-ketentuan tersebut, masing-masing ahli
waris harus mengikuti ketentuan syariat dan tidak bisa mengikuti
kehendak dan keinginan masing-masing.
2. Baik
laki-laki maupun perempuan mendapat bagian warisan (yang pada masa
jahiliyah hanya laki-laki yang berhak) sebagai upaya mewujudkan
pembagian kewarisan yang berkeadilan berimbang. Dalam artian
masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan porposi beban dan
tanggung jawabnya.
BAB II
HUKUM DAN SUMBER HUKUM KEWARISAN
A. HUKUM KEWARISAN
Dalam
hukum kewarisan terdapat dua hal, yaitu, hukum membagi harta warisan
menurut ketentuan syari’at Islam dan hukum mempelajari dan
mengajarkannya.
1. Hukum membagi harta warisan menurut ketentuan syari’at Islam
Bagi
umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syari’at yang telah
ditentukan nash yang sharih adalah suatu keharusan, selama peraturan
tersebut tidak ditunjuk oleh dalil nash yang lain yang menunjukkan
ketidak-wajibannya.
Dalam hal ini kita dapat merujuk nash al-Quran maupun al-Hadis yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu :
a. Surat an-Nisa’ ayat 13 dan 14 :
(Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa ta’at
kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga
yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya
dan itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa’ : 13).
Dan
barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, Allah bakal memasukkannya ke dalam neraka
sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S.
An-Nisa’ : 13-14).
b. Hadis Rasulullah SAW.
Bagilah harta (warisan) antara ahli-ahli waris menurut kitabullah (al-Quran). (H.R. Muslim dan Abu Dawud).
Berdasarkan
nash al-Quran dan al-Hadis tersebut, maka diisyaratkan keharusan
(kewajiban) membagi harta warisan menurut ketentuan al-Quran dan
al-Hadis. Tetapi selain pemindahan hak kepemilikan melalui kewarisan,
adanya ketentuan wasiat dan hibah. Sehingga terhadap orang lain yang
tidak mendapatkan harta melalui kewarisan dapat diberikan melalui wasiat
atau hibah. Demikian pula bagi ahli waris yang merasa tidak membutuhkan
dan tidak mau menerima pembagian harta warisan, dapat memberikan kepada
orang lain yang lebih membutuhkan melalui hibah.
Dalam
Undang-undang Kewarisan Mesir adanya ketentuan wasiat wajibah bagi cucu
perempuan dari garis perempuan yang tidak memperoleh harta warisan
karena sebagai zawil arham. Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam
ditemukan pula ketentuan wasiat wajibah bagi orang tua angkat atau anak
angkat. Hal tersebut menurut penulis langkah yang tepat demi mewujudkan
keadilan dengan tanpa menyalahi ketentuan syari’at.
2. Hukum mempelajari dan mengajarkannya.
Islam
mengatur ketentuan pembagian harta waris secara rinci agar tidak
terjadinya perselisihan dan pertikaian antara ahli waris. Hal tersebut
seringkali terjadi jika seseorang meninggal dunia, menimbulkan
perselisihan bagi ahli warisnya dalam pembagian harta, bahkan tidak
jarang terjadi pertikaian. Seabagai antisipasi hal tersebut, maka
ditentukan secara rinci tentang pembagian harta warisan sebagai pedoman.
Dengan
telah ditetapkannya pembagian harta warisan dalam Islam, maka harus ada
orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga orang-orang yang
telah mempelajarinya dapat merealisasikan didalam pembagian harta
warisan bagi umat Islam.
Para
ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqih mawaris
adalah wajib kifayah. Dalam artian apabila telah ada sebagian orang yang
melakukannya (memenuhinya) maka dapat menggugurkan kewajiban semua
orang. Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang melaksanakan kewajiban
tersebut, maka semua orang menanggung dosa.
Dalam
hadis Nabi dinyatakan ; Pelajari oleh kalian al-Quran dan ajarkanlah
kepada orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada
orang lain. Karena aku adalah orang yang bakal terengut (mati) sedang
ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang
pembagian warisan tidak mendapatkan seorang pun yang dapat memberikan
fatwa kepada mereka. (H.R. Ahmad, Nasai dan al-Daruqutny).
Berdasarkan
hadis tersebut, ditempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu
faraidh dengan perintah mempelajari dan mengajarkan al-Quran, menandakan
betapa pentingnya ilmu faraidh tersebut. Hal tersebut sebagai upaya
mewujudkan pembagian warisan yang berkeadilan dan menurut ketentuan
syariat Islam. Terlebih kecenderungan manusia yang materialistik, maka
ketentuan pembagian warisan tersebut sangat penting agar terhindarnya
konflik dan perselisihan.
B. SUMBER HUKUM KEWARISAN
Hukum kewarisan bersumber pada al-Quran dan al-Hadis yang menjelaskan ketentuan hukum kewarisan.
1. Al-Quran
a. Surat an-Nisa’ ayat 7 :
Bagi
laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan. (An-Nisa’ : 7).
Menurut
ayat kewarisan tersebut baik laki-laki maupun perempuan berhak mewarisi
harta yang ditinggalkan ibu-bapa maupun kerabatnya. Hal tersebut
menghapuskan tradisi yang berlaku pada masa jahiliyah, yang berhak
menerima warisan hanya laki-laki yang dewasa saja.
b. Surat al-Ahzab ayat 6 :
Nabi
itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari mereka sendiri
dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang
mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di
dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin
kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama),
adalah yang demikian itu telah tertulis dalam kitab (Allah). (Al-Ahzab :
6).
Berdasarkan
ayat tersebut, orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan lebih
berhak mewarisi harta seseorang yang meninggal dunia daripada orang
lain. Tetapi tidak menutup kemungkinan, jika mau berbuat baik kepada
orang lain (seagama) dengan melalui hibah atau wasiat.
c. Surat an-Nisa’ ayat 11 dan 12 :
Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk
dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha bijaksana. (An-Nisa’ : 11).
Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai naka, maka para isteri meperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
(An-Nisa’ : 12).
Kedua ayat tersebut menjelaskan secara rinci bagian-bagian ahli waris baik yang termasuk ashabul furudl maupun ashabah.
Ayat-ayat lain yang berhubungan dengan kewarisan adalah
al-Baqarah 180, An-nisa’ 8,9,176 dan al-Anfal 75.
2. Al-Hadis
a. Riwayat Bukhari dan Muslim.
Nabi
SAW. bersabda; Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang
yang berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama
(dekat kekerabatannya). (H.R. Bukhari dan Muslim).
b. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
Orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang muslim. (H.R. Bukhari dan Muslim).
c. Riwayat Bukhari dan Muslim dari Sa’ad ibn Abi Waqqas tentang batas maksimal pelaksanaan wasiat.
Rasulullah
SAW. datang menjengukku pada tahun haji wada’ diwaktu aku menderita
sakit keras. Lalu aku bertanya kepada beliau,” wahai Rasulullah, aku
sedang menderita sakit keras, bagaimana pendapatmu, aku ini orang berada
sementara tidak ada yang akan mewarisi hartaku selain seorang anak
perempuan, apakah aku sedekah (wasiat) kan
dua peretiga hartaku? “Jangan” jawab Rasul. Aku bertanya “setengah”?
“jangan” jawab Rasul. Aku bertanya “sepertiga”? Rasul menjawab
“sepertiga” sepertiga adalah banyak atau besar, sungguh kamu jika
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik
daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta
kepada orang. (H.R. Bukhari dan Muslim).
BAB III
ASAS KEWARISAN ISLAM
Berdasarkan nash baik al-Quran maupun al-Hadis, maka kita dapat merumuskan asas-asas kewarisan Islam sebagai berikut :
A. ASAS IJBARI
Dalam
hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada
yang masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum
Islam berlaku secara ijbari. Kata ijbari secara etimologis mengandung
arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak
sendiri.
Hal
tersebut berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal
kepada ahli warisnya berlangsung dengan sendirinya berdasarkan ketetapan
Allah, tanpa bergantung kepada kepada ahli waris atau pewaris.
Adapun asas ijbari dalam kewarisan Islam terjadi dalam hal :
a. Segi peralihan harta
b. Segi jumlah pembagian
c. Segi kepada siapa harta itu beralih.
B. ASAS BILATERAL
Asas
bilateral dalam kewarisan Islam, berarti bahwa seseorang menerima
warisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis
keturunan laki-laki maupun perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat an-Nisa’ ayat 7.
Amir
syarifuddin menyatakan, bahwa seorang laki-laki berhak menerima warisan
dari pihak ayahnya juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang
perempuan berhak mendapat warisan dari kedua pihak orang tuanya.
Demikian pula dapat dilihat dari surat
an-nisa’ ayat 12, bahwa baik duda maupun janda saling mewarisi, saudara
laki-laki mewarisi dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya.
Kemudian sebagaimana termuat dalam surat an-Nisa’ ayat 33, menurut Hazairin bahwa, cucu baik laki-laki maupun perempuan mewarisi menggantikan ibu atau bapaknya.
C. ASAS INDIVIDUAL
Asas
individual artinya ialah, dalam system hukum kewarisan Islam, harta
peninggalan yang ditinggalkan dibagi secara individual secara pribadi
langsung kepada masing-masing.
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat pada surat an-nisa’ ayat 11, yaitu ;
a. Bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian anak perempuan
b. Bila anak perempuan itu dua orang atau lebih baginya dua pertiga dari harta peninggalan
c. Dan jika perempuan itu hanya seorang saja maka baginya seperdua harta peninggalan.
Pembagian
secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan
sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan manjalankan
kewajiban, yang dalam istilah ushul fiqih disebut “ahliyat al-wujub”.
Akan tetapi berlaku pula ketentuan lain yaitu kecakapan untuk bertindak
yang dalam ushul fiqih disebut “ahliyatul ada”. Dalam artian pembagian
harta tersebut diberikan kepada seseorang secara individual, dengan
catatan adanya kecakapan orang tersebut.
D. Asas keadilan berimbang
Hak
waris yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya merupakan
pelanjutan tanggung jawab pewaris kepada keluarganya (ahli waris),
sehingga kadar yang diterima oleh ahli waris berimbang dengan perbedaan
tanggung jawab seseorang.
Seorang
laki-laki memikul tanggung jawab yang lebih berat dari perempuan,
sehingga suatu hal yang wajar jika bagiannya dua kali bagian perempuan.
Tanggung jawab tersebut dari ayat al-Quran :
1) Al-Baqarah 23 :
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. (Q.S. Al-Baqarah : 23).
2) An-Nisa’ 34 :
Kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihi sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena itu mereka telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka….(Q.S. An-Nisa’ : 34).
3) Ath-Thalaq 6 :
Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmua….(Ath-Thalaq : 6).
E. ASAS KEWARISAN SEMATA AKIBAT KEMATIAN
Hukum
kewarisan Islam menetapkan bahwa peralihan harta melalui cara
kewarisan, dilakukan setelah orang yang mempunyai harta meninggal. Hal
tersebut dapat dikaji dari penggunaan kata-kata warasa.
Hubungan
kewarisan Islam dengan kewarisan Nasional di Indonesia sampai saat ini
belum terdapat suatu kesatuan hukum kewarisan yang dapat diterapkan
secara universal bagi seluruh warga negara Indonesia. Oleh karenanya hukum kewarisan yang diterapkan bagi warga negara Indonesia berbeda-beda mengingat penggolongan dari warga negara.
Penggolongan tersebut adalah :
1) Bagi warga negara Indonesia asli
Bagi warga negara Indonesia
asli pada prinsipnya berlaku Hukum Adat. Yang dalam hal ini sudah
barang tentu terdapat perbedaan antara satu daerah dengan daerah yang
lain. Perbedaan tersebut karena adanya perbedaan sifat kekeluargaan
mereka masing-masing.
Sifat kekeluargaan (keturunan) dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu ;
a. Sistem Patrilinial, yaitu ditarik menurut garis bapak
b. Sistem Matrilinial, yang ditarik menurut garis ibu.
c. Sistem Parental, yang ditarik menurut garis ibu-bapak.
2) Bagi warga negara golongan Indonesia asli yang beragama Islam
Bagi warga negara Indonesia asli yang beragama Islam, selain dipengaruhi hukum kewarisan adat, juga banyak dipengaruhi oleh kewarisan Islam.
Berkaitan
dengan hal tersbut, hendaknya hukum kewarisan yang berlaku di
masing-masing daerah (hukum kewarisan adat) harus disesuaikan dan
berpedoman pada kewarisan Islam. Sebab umat Islam mengatur segala aspek
kehidupan bagi umatnya.
3) Bagi orang-orang Arab
Pada umumnya seluruh hukum kewarisan Islam berlaku bagi orang-orang Arab di Indonesia.
4) Bagi orang Tionghoa da Eropa
5) Bagi
orang Tionghoa dan Eropa, bagi mereka berlaku hukum warisan yang
termuat dalam Burgelijk Wetboek (BW) buku II pasal 830 sampai dengan
pasal 1130.
BAB IV
UNSUR-UNSUR DAN SYARAT KEWARISAN
A. UNSUR KEWARISAN
Dalam kewarisan Islam terdapat tiga unsur (rukun), yaitu :
1. Maurus.
Maurus
atau miras adalah harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya
perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal
ini yang diamaksdukan hal tersebut adalah :
a. Kebendaan
yan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda-benda
tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati, diyat wajibah
(denda wajib) yang dibayarkan kepadanya.
b. Hak-hak
kebendaan, seperti monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari
suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi dan lain sebagainya.
c. Benda-benda yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar dan hak syuf’ah, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan sebagainya.
d. Benda-benda
yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang sedang
digadaikan, benda yang telah dibeli oleh si mati sewaktu masih hdup yang
sudah dibayar tetapi barang belum diterima.
2. Muwaris.
Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya.
3. Waris.
Waris,
adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan muwaris karena
mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan
sebab perkawinan atau akibat memerdekakan hamba sahaya.
B. SYARAT KEWARISAN
Adapun syarat-syarat terjadinya pembagian harta warisan dalam Islam adalah ;
1. Matinya muwaris.
Kematian muwaris dibedakan kepada tiga macam yaitu :
a. Mati haqiqy.
Mati haqiqy, ialah kematian seseorang yang dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy.
Mati
hukmy, ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis hakim. Misalnya
orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak diketahui domisilinya,
maka terhadap orang yang sedemikian hakim dapat memvonis telah mati.
Dalam hal ini harus terlebih dahulu mengupayakan pencarian informasi
keberadaannya secara maksimal.
c. Mati taqdiry (menurut dugaan).
Mati
taqdiry, yaitu orang yang dinyatakan mati berdasarkan dugaan yang kuat.
Semisal orang yang tenggelam dalam sungai dan tidak diketem,ukan
jasadnya, maka orang tersebut berdasarkan dugaan kuat dinyatakan telah
mati. Contoh lain, orang yang pergi kemedan peperangan, yang secara
lahiriyah mengancam jiwanya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar
beritanya, maka dapat melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal.
2. Hidupnya waris.
Dalam
hal ini, para ahli waris yang benar-benar hiduplah disaat kematian
muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaiatan dengan bayi
yang masih berada dalam kandungan akan dibahas secara khusus.
3. Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi.
Tidak ada penghalang kewariosan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hal-hal yang menjad penghalang kewarisan.
BAB V
SEBAB-SEBAB ADANYA KEWARISAN MENURUT ISLAM
Dalam
kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga, yaitu;
hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab
al-wala’.
A. HUBUNGAN KEKERABATAN
Kekerabatan
ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang
mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab
memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure
causalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan
dengan perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat
hilang.
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya
dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7).
Demikian pula dalam surat
al-Anfal ayat 75 : …Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).
B. HUBUNGAN PERKAWINAN
Hubungan
perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah
perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya
terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama.
Tentang syarat administrative masih terdapat perbedaan pendapat. Hukum
perkawinan di Indonesia,
memberikan kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau
tidaknya perkawinan bukan secara administrasi (hukum positif, Pen.)
tetapi ketentuan agama.
Disebagian negara muslim, seperti Pakistan,
perkawinan yang tidak dicatat dapat dihukum penjara atau denda atau
bahkan kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini menjadi perhatian,
karena perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administrative (hukum
positif) akan dapat menimbulkan kemudlaratan, seperti penyangkalan
terhadap suatu perkawinan karena tidak adanya bukti tertulis (secara
administratif).
Berkaitan
dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan
yang masih utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan
perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah
diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa iddah
raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap
masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk
isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin
baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali.
Sehingga
isteri yang sedang berada dalam masa iddah talak raj’i, apabila
suaminya meninggal ia berhak mewarisi harta suaminya. Demikian pula
sebaliknya, suami berhak mewarisi harta isterinya.
C. HUBUNGAN KARENA SEBAB AL-WALA’
Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;
1) Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak.
2) Kekerabatan
menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan
sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.
Wala’
yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya
sebab telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut
mu’tiq jika laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang
kedua disebut dengan walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat
kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang lain melalui suatu
perjanjian. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain; wahai fulan
engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil
diyat (denda) untukku bila aku dilukai seseorang, demikian pula aku
dapat mewarisi hartamu dan menagambil diyat karenamu. Kemudian orang
lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama disebut al-mawali
dan pihak kedua disebut al-mawala.
Adapun
bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6
(seperenam) dari harta peninggalan. Terhadap wala al-muwalah menurut
jumhur ulama demikian pula Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah
melalui surat al-Anfal ayat 75 :
Orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
BAB VI
SEBAB-SEBAB YANG MENJADI
PENGHALANG KEWARISAN
Hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk mewarisi
( موانع الارث ) ada tiga macam, yaitu : (Perbudakan, Pembunuhan, Berlainan
A. PERBUDAKAN
Perbudakan
menjadi penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk umum yang
menyatakan budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum.
Hal ini berdasarkan surat al-Anfal ayat 75 :
Allah
membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang
tidak dapat bertindak terhadap sesutupun…(Q.S. Al-Anfal : 75).
Mafhum
ayat tersebut menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap untuk mengurusi
hak milik kebendaan dengan jalan apa saja. Hak-hak kebendaannya
sepenuhnya berada ditangan tuannya. Dan status kekerabatan dengan
keluarganya sudah putus. Sebagaimana dinyatakan oleh Drs. Fatchur
Rahman, bahwa budak tidak dapat mewarisi karena :
a. Ia dipandang tidak cakap mengurusi harta milik;
b. Status
kekeluargaannya terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus dan karenanya
ia sudah menjadi keluarga asing (bukan keluarganya).
Menurut
Ali Ahmad Al-Juejawy, budak itu tidak dapat mewarisi harta peninggalan
tuannya bila tuannya meninggal, disebabkan budak itu sendiri berstatus
sebagai harta milik bagi tuannya.
Kitab
Undang-undang Kewarisan Mesir tidak memuat pasal tentang penghalang
mewarisi karena perbudakan, karena di negara tersebut perbudakan
dilarang oleh undang-undang.
Hal
tersebut merupakan hal yang sangat positif, karena pada hakikatnya
Islam tidak menghendaki adanya perbudakan. Hal tersebut dapat kita
perhatikan dari gencarnya Islam menghapuskan perbudakan dengan adanya
hukuman yang diberikan kepada seseorang berupa pembebasan budak. Budak
adalah tetap manusia yang mempunyai harkat dan martabat, hanya karena
statusnya yang tidak memiliki kecakapan apapun. Hal tersebut terjadi
karena masa jahiliyah (sebelum Islam dating) budak diposisikan dengan
cara yang tidak terhormat, dapat diperlakukan apa saja dan dianggap
seperti barang/harta. Sehingga ajaran Islam yang sangat memperhatikan
keadaan dan kondisi suatu masyarakat, tidak dengan serta merta (secara
totalitas) menghapuskan tradisi tersebut. Proses tasyri’ yang sedemikian
dapat juga kita perhatikan dari proses pengharaman khamar (minuman
keras) yang dilakukan dengan bertahap.
B. PEMBUNUHAN
Pembunuhan
yang dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwarris menyebabkannya
tidak dapat mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas (jumhur)
ulama. Hal tersebut merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak
menutup kemungkinan untuk menguasai harta seseorang membunuh orang lain.
Karena motivasi yang tidak baik tersebut, maka terhadap orang yang
membunuh tidak diperkenankan dan tidak berhak mewarisi harta
peninggalannya.
Terhadap
masalah ini, golongan khawarij, yang memisahkan diri dari Ali bin Abi
Thalib dan Muawiyah, menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat
al-Quran bersifat umum dan tidak mengecualikan si pembunuh. Karena
ayat-ayat kewarisan hanya memberi petunjuk umum, sehingga keumuman
ayat-ayat tersebut harus diamalkan.
Dalam
hal ini mereka hanya mengacu pada keumuman ayat-ayat kewarisan. Padahal
dalam hadis nabi Muhammad SAW. adanya pengecualian terhadap pembunuh.
Adapun dasar hukum yang dipergunakan oleh mayoritas (jumhur) ulama yang
menyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi adalah;
1. Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas :
Rasulullah
SAW. bersabda : Barang siapa membunuh seseorang korban, maka ia tidak
dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain
dirinya. (Begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau
anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan. (H.R.
Ahmad).
2. Riwayat An-Nasai :
Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi. (H.R. An-Nasai).
Berdasarkan
hadis-hadis tersebut, maka secara jelas dinyatakan pembunuh terhalang
untuk mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Hal tersebut, walaupun tidak
ada ahli waris lain selain dirinya, ataupun yang dibunuhnya orang tua
atau anaknya. Yang menjadi permasalahan adalah, mengingat banyaknya
jenis dan macam pembunuhan. Apakah secara keseluruhan pembunuhan menjadi
penghalang untuk mewarisi. Dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu :
C. BERLAINAN AGAMA
Terhadap
orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam menjadi
penghalang mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta
peninggalan orang yang beragama non Islam.
Adapun
dasar hukumnya adalah hadis rasulullah SAW. : Orang Islam tidak
mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang
Islam.
Kemudian hadis riwayat Ashab Al-Sunan (Imam Abu daud, Al-Tirmizi, Al-Nasai, dan Ibnu majah) :
Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda.
Dalam
hal ini nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman
beliau, Abu Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW.
yang meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya
dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafoir, yaitu, ‘Uqail dan
Talib. Sedangkan terhadap anak-anaknya yang sudah masuk Islam, yaitu Ali
dan Ja’far, tidak diberi bagian.
Dalam
hal ini terdapat permasalahan, yaitu apabila pewaris masuk Islam
sesudah meninggalnya orang yang mewarisi, dan harta peninggalan (ketika
ia masuk Islam) belum dibagikan. Ada beberapa pendapat sebagai berikut :
1. Jumhur
ulama tetap berpendapat terhalangnya orang tersebut untuk mewarisi
hartanya. Karena yang menyebabkan timbulnya hak mewarisi adalah sejak
(karena) kematian orang yang mewarisi, bukan saat dimulainya pembagian
harta waris.
2. Imam
Ahmad dalam salah satu pendapatnya, menyatakan bahwa pewaris tersebut
tidak terhalang, dengan alas an predikat “berlainan agama’ sudah hilang
sebelum pembagian harta warisan.
3. Fuqaha
aliran Imamiyah berpendapat sama dengan Ahmad bin Hanbal, tidak
terhalang, karena harta peninggalan itu belum menjadi milik harta waris
secara tetap, sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris
BAB VII
AHLI WARIS, HARTA YANG HARUS DIKELUARKAN,
HAJIB DAN MAHJUB
A. AHLI WARIS
Ahli Waris ialah orang yang berhak menerima warisan, ditinjau jenisnya dapat dibagi dua, yaitu zawil furud dan ashobah.
Penggolongan ahli waris ahli waris ada dua jenis lelaki dan perempuan .
1. Ahli Waris lelaki terdiri dari.
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki sampai keatas dari garis anak laki-laki.
c. Ayah
d. Kakek sampai keatas garis ayah
e. Saudara laki-laki kandung
f. Saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-laki saudara kandung sampai kebawah.
i. Anak laki-laki saudara seayah sampai kebawah.
j. Paman kandung
k. Paman seayah
l. Anak paman kandung sampai kebawah.
m. Anak paman seayah sampai kebawah.
n. Suami
o. Laki-laki yang memerdekakan
2. Ahli Waris wanita terdiri dari
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan sampai kebawah dari anak laki-laki.
c. Ibu
d. Nenek sampai keatas dari garis ibu
e. Nenek sampai keatas dari garis ayah
f. Saudara perempuan kandung
g. Saudara perempuan seayah
h. Yang Saudara perempuan seibu.
i. Isteri
j. Wanita yang memerdekakan
Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul furudh dan Ashobah.
1. Ashabul furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
a. Yang dapat bagian ½ harta.
o Anak perempuan kalau sendiri
o Cucu perempuan kalau sendiri
o Saudara perempuan kandung kalau sendiri
o Saudara perempuan seayah kalau sendiri
o Suami
b. Yang mendapat bagian ¼ harta
o Suami dengan anak atau cucu
o Isteri atau beberapa kalau tidak ada (anak atau cucu)
c. Yang mendapat 1/8
o Isteri atau beberapa isteri dengan anak atau cucu.
d. Yang mendapat 2/3
o dua anak perempuan atau lebih
o dua cucu perempuan atau lebih
o dua saudara perempuan kandung atau lebih
o dua saudara perempuan seayah atau lebih
e. Yang mendapat 1/3
o Ibu jika tidak ada anak, cucu dari grs anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah atau seibu.
o Dua atau lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan
f. Yang mendapat 1/6
o Ibu bersama anak lk, cucu lk atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau perempuan seibu.
o Nenek garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas
o Nenek garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
o Satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan kandung
o Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan kandung.
o Ayah bersama anak lk atau cucu lk
o Kakek jika tidak ada ayah
o Saudara seibu satu orang, baik laki-laki atau perempuan.
2. Ahli
waris ashobah yaitu para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu
tetapi mereka dapat menghabiskan bagian sisa ashhabul furud. Ashobah
terbagi tiga jenis yaitu ashabah binafsihi, ashobah bighairi dan ashobah
menghabiskan bagian tertentu
a. Ashobah binafsihi adalah yang ashobah dengan sndirinya. Tertib ashobah binafsihi sebagai berikut:
o Anak laki-laki
o Cucu laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah
o Ayah
o Kakek dari garis ayah keatas
o Saudara laki-laki kandung
o Saudara laki-laki seayah
o Anak laki-laki saudara laki-laki kandung sampai kebawah
o Anak laki-laki saudara laki-laki seayah sampai kebawah
o Paman kandung
o Paman seayah
o Anak laki-laki paman kandung sampai kebawah
o Anak laki-laki paman seayah sampai kebawah
o Laki-laki yang memerdekakan yang meninggal
b. Ashobah dengan dengan saudaranya
o Anak perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki.
o Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
o Saudara perempkuan kandung bersama saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah.
o Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
c. Menghabiskan bagian tertentu
o Anak perempuan kandung satu orang bersama cucu perempuan satu atau lebih (2/3).
o Saudara perempuan kandung bersama saudara perempuan seayah (2/3)
B. Harta yang harus dikeluarkan
Harta yang harus dikeluarkan sebelum dibagikan kepada ahli waris:
1. Biaya jenazah
2. Utang yang belum dibayar
3. Zakar yang belum dikeluarkan
4. Wasiat
C. Hajib dan mahjub
1. Nenek dari garis ibu gugur haknya karena adanya ibu.
2. Nenek dari garis ayah gugur haknya karena adanya ayah dan ibu
3. Saudara seibu gugur haknya baik laki-laki ataupun perempuan oleh:
a. anak kandung laki/perempuan
b. cucu baik laki-laki/perempuan dari garis laki-laki
c. bapak
d. kakek
4. Saudara seayah baik laki-laki/perempuan gugur haknya oleh :
a. ayah
b. anak laki-laki kandung
c. cucu laki-laki dari garis laki-laki
d. Saudara laki-laki kandung
5. Saudara laki-laki/perempuan kandung gugur haknya oleh:
a. anak laki-laki
b. cucu laki-laki dari garis anak laki-laki
c. ayah
6. Jika semua ahli waris itu laki-laki yang dapat bagian ialah.
a. suami
b. ayah
c. anak laki-laki
7. Jika semua ahli waris itu semuanya perempuan dan ada semua, maka yang dapat warisan ialah:
a. Isteri
b. Anak perempuan
c. Cucu perempuan
d. Ibu
e. Saudara perempuan kandung
8. Urutan
pembagian antara saudara laki-laki kandung/ saudara laki-laki seayah
sampai kebawah dan urutan paman kandung / paman seayah sampai kebawah.
a. Saudara laki-laki kandung menggugurkan saudara seayah( L/P )
b. Saudara laki-laki seayah menggugurkan anak lk saudara kandung
c. Anak laki-laki saudara kandung menggugurkan anak lk saudara seayah
d. Anak laki-laki saudara seayah menggugurkan cucu lk saudara kandung.
e. Cucu laki-laki saudara kandung menggugurkan cucu lk saudara seayah dts
f. Cucu laki-laki saudara seayah menggugurkan Paman kandung
g. Paman kandung menggugurkan paman seayah
h. Paman seayah menggugurkan anak laki-laki paman kandung
i. Anak laki-laki paman kandung menggugurkan anak lk paman seayah
j. Anaklaki-laki paman seayah menggugurkan cucu lk paman kandung
k. Cucu laki-laki paman kandung menggugurkan cucu lk paman seayah.
b. demikian seterusnya.
BAB VIII
Warisan dalam UU No 7 Tahun 1989
Hukum
waris dalam Islam ialah berasal dari wahyu Allah dan diperjelas oleh
RasulNya. Hukum waris ini diciptakan untuk dilaksanakan secara wajib
oleh seluruh umat Islam. Semenjak hukum itu diciptakan tidak pernah
mengalami perubahan, karena perbuatan mengubah hukum Allah ialah dosa.
Semenjak dsahulu sampai sekarang umat Islam senantiasa memegang teguh
hukum waris yang diciptakan Allah yang bersumber pada kitab suci
Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah.
Dalam
Undang undang no 7 Tahun 1989, hukum waris itu dicamtumkan secara
sistematis dalam 5 bab yang tersebar atas 37 fasal dengan perincian
sebagai berikut:
Bab. I : Terdiri atas 1 pasal , ketentuan umum.
Bab. II : Terdiri atas 5 pasal, berisi tentang ahli waris
Bab. III. : Terdiri atas 16 pasal, berisi tentang besarnya bagian ahli waris
Bab. IV : Terdiri atas 2 pasal, berisi tentang aul dan rad.
Bab. V : Terdiri atas 13 pasal, berisi masalah wasiat
Demikianlah
selayang pandang tentang Undang-Undang no 7 tahun 1989, Prinsipnya sama
dengan hukum yang bersumber dengan Al-Qur’an dan Hadits.
BAB IX
CARA MENGHITUNG, MEMBAGIKAN WARISAN
Contoh Kasus
Pertanyaan :
Seseorang Meninggal dunia meninggalkan harta warisan senilai
Rp 66.000.000.00. Ahli waris terdiri dari kakek, bapak, dan 2anak laki-laki. Berapa bagian masing-masing?
Jawab :
Untuk dapat menjawab kasus ini mari kita buka materi yang terdapat pada
BAB VII, disana dikatakan bahwa Bapak mendapatkan bagian 1/6
penyelesainnya
adalah 1 x Rp 66.000.000.00 / 6 = Rp 11.000.000.00 jadi bapak
mendapatkan bagian sejumlah Rp 11.000.000.00, sedangkan 2 Anak laki-laki
adalah asobah/sisa, maka Penyelesainnya Rp 66.000.000.00 - Rp
11.000.000.00 = Rp 55.000.000.00, seorang anak laki-laki adalah Rp 55.000.000.00 / 2 = Rp 27.500.000.00
Bagiman adengan kakek, kakek tidak memiliki hak waris karena terhalang oleh ayah.
source : http://anakmudagarut.blogspot.com/2008/10/fiqih-mawaris.html