Wali Songo terdiri dari sembilan wali; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kali Jaga.
Perkataan
wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau waliya yang berarti
qaraba yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian (Nasution,
1992; Saksono, 1995. Dalam Al-Qur’an istilah ini dipakai dengan
pengertian kerabat, teman atau pelindung. Al-Qur’an menjelaskan: “Allah
pelindung (waliyu) orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka
dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir,
pelidung-pelindung (auliya) mereka ialah syetan, yang mengeluarkan
mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah
penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 257)
Selanjutnya,
kata songo menunjukkan angka hitungan Jawa yang berarti sembilan,
angka bilangan magis Jawa yang diambil dari kata ja yang memiliki
nilai dan wa yang bernilai enam (simuh, 1986). Namun demikian, ada
juga yang berpendapat bahwa kata songo berasal dari kata sana yang
diambil dari dari bahasa Arab, tsana (mulia) sepadan dengan mahmud
(terpuji), sehingga pengucapan yang benar adalah Wali Sana, yang
berarti wali-wali terpuji (Adnan, 1952). Pendapat ini didukung oleh
sebuah kitab yang meriwayatkan kehidupan dan hal ihwal para wali di
Jawa yang dikarang oleh Sunan Giri II (Imron arifin, 2002).
Strata sosial kultural masyarakat Jawa sebelum kehadiran Wali Songo
sangat dipengaruhi oleh kehidupan animispanteistik yang dikendalikan
oleh para pendeta, guru ajar, biksu, wiku, resi, dan empu. Mereka
dianggap mempunyai kemampuan mistis dan kharismatik (Thrupp, 1984).
Kedudukan vital mereka diambil alih para wali dengan tetap berfokus
pada kehidupan mistis religius (Stuuerheim, 1977). Era Wali Songo
adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Peranan Mereka dalam
mendirikan kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan
wali” ini lebih banyak disebut di bandingkan yang lain.
Maulana Malik Ibrahim
Maulana
Malik Ibrahim (w. 1419 M) adalah tohoh pertama yang memperkenalkan
Islam di Jawa. Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy
lahir di Samarkand, Asia tengah. Babad Tanah Jawi versi Meinsma
menyebutnya Asmarakandi, mengikuti ucapan lidah jawa terhadap
As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut Syekh Magribi. Sebagian
rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana
Ishak, ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri
(Raden Paku).
Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama
Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. maulana Jumadil Kubro
diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi
Muhammad SAW.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja,
selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi puteri
raja, yang memberinya dua putera. Mereka adalah raden Rahmat (dikenal
dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri.
Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M
Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa dan meninggalkan
keluarganya.
Sunan Ampel
Sunan Ampel
Sunan
Ampel (Raden Rahmat) adalah putera tertua Maulana Malik Ibrahim.
Menurut Babad Tanah Jawi dan silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia
dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada tahun 1401 M
dan diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di
sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama
ia bermukim, yakni daerah Ampel atau Ampel Denta, Wilayah yang kini
menjadi bagian dari Surabaya.
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke Pulau Jawa pada
tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadha, sang adik. Tahun 1440,
sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang.
Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh di daerah
Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang puteri
dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja
Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan puteri seorang adipati di Tuban. Dari
perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya
yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
Ketika Kesultanan demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus)
hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam
pertama di Jawa itu. Ia pula yang menujuk muridnya Raden Patah, putera
dari Prabu Brawijaya V Raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun
1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun dan mengembangkan pondok pesantren.
Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad
ke-15, peswantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat
berpengaruh di wilayah Nusantara, bahkan mancanegara.
Diantara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para
santri tersebut kemudian diperintahkan untuk berdakwah ke berbagai
pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fiqih mahzab Hanafi. Namun, pada para
santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan
pada penanaman akidah dan ibadah.
Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (Moh main, moh ngombe,
moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi,
tidak minum-minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik,
dan tidak berzina.”
Sunan Bonang
Sunan
Bonang alias Maulana Makhdum Ibrahim adalah putera Sunan Ampel (1465 –
1525 M), berarti cucu Maulana Malik Ibrahim yang mendirikan pesantren
di tempat tinggalnya. Dia juga adalah salah seorang pendiri Kerajaan
Demak. Nama kecilnya adalah Raden Makhdum Ibrahim. Lahir diperkirakan
dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati
di Tuban.
Sunan
Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah
cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau
jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya
beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Ia
kemudian menetap di Bonang (desa kecil) di Lasem, Jawa Tengah sekitar
15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat
persujudan/zawiyah sekaligus Pesantren yang kini dikenal dengan nama
Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama
Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.
Meskipun
demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk
berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acapkali berkunjung ke
daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean.
Di
pulau inilah, pada tahun 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di
Tuban, diseelah barat Masjid Agung, setelah sempat dperebutkan oleh
masyarakat Bawean dan Tuban.
Sunan
Bonang memiliki buku yang lebih merupakan wejangan mengenai hukum dan
agama islam, yang sering disebut sebagai “Buku Sunan Bonang,”
dperkirakan berasal dari masa yang lebih awal daripada akhir abad ke-16.
Buku Sunan Bonang adalah sebuah Primbon karena merupakan kumpulan
dari penjelasan tentang berbagai masalah yang berbeda-beda (Drewes,
2002).
Ajaran
Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis
salaf ortodoks. Ia mengusai ilmu fiqih, ususludin, tasawuf, seni, sastra
dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang
yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran
Sunan Bonang berintikan pada filsafat “cinta” (‘isyq). Sangat mirip
dengan kecendrungan Jalal Al-din Al-Rumi. Menurut Bonang cinta sama
dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah
SWT atau haq al-yaqqin. Ajaran tersebut disampaikan secara populer
melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan
Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan
Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang
tamsil. Salah satunya adalah “Suluk Wijil” tampak dipengaruhi kitab
Al-Shidiq karya Abu Sa’id Al-Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak
menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan
yang juga digunakan oleh ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah
Fansuri.
Sunan
Bonang juga mengubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika
Hindu, dengan memberi nuasa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan
Jawa seperi sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya
ketika itu memiliki nuansa dzikir yang transsedental (alam malakut).
Tembang
“Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas
pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonya.
Kegemarannya adalah mengubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas
Islam. Kisah perseteruan pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai
peperangan antar nafi (peniadaan) dan ‘ishah (peneguhan).
Sunan Giri
Sunan
Giri bergelar Sultan ‘Abd Al-Faqih karena pengetahuannya yang luas
dalam ilmu fiqih. Orang-orang pun menyebutnya sebaggai Sultan ‘Abd
Al-Faqih. Nama aslinya Muhammad ‘Ain Al-Yaqin dan termasuk keturunan
Imam Al-Muhajir.
Dia
sempat belajar kepada Sunan Ampel. Ia memiliki nama kecil Raden Paku,
alias Muhammad ‘Ain Al-Yaqin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini
Banyuwangi) pada tahun 1442 M.
Ada
juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan
masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya, seorang putri
raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut.
Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawiversi Meinsma).
Ayahnya
adalah Maulana Ishak saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana
Ishak berhasil mengislamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan
mertuanya. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya
berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan
Giri kecil menuntut ilmu dipesantren misannya, Sunan Ampel, tempat
dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan
Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah
perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa bukit
adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya
tidak hanya digunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit,
namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon
karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan-memberi
keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan.
Maka
pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang
disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan Sunan Giri juga
disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri
Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu.
Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah
bertindak sebagai penasehat dan panglima militer kesultanan demak. Hal
tersebut tercacat dalam Babad Demak.
Selanjutnya,
Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai
mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Para
Santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih
ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate,
hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk
Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari
Minangkabau.
Ia
juga pencipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti
Jelungan, Jamuran, Lir-ilir dan Cublak suweng disebut sebagai kreasi
Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung yang bernuasa
Jawa namun syarat ajaran Islam.
Sumber CyberMQ.com
baca selengkapnya di http://www.sobatmuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar