QIYAS
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tarikh Tasri
Program
Studi S1 PAI Semester VI STIT Muhammadiyah Wates
Dosen pengampu
:Drs. Ngadi
Suryono

Disusun
oleh :
AZIZ IMAM ARIFIN
NIM
11.01.1348
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MUHAMMADIYAH WATES
KULON PROGO
2014
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT pencipta alam semesta yang
menjadikan bumi dan isinya dengan begitu sempurna. Tuhan yang menjadikan setiap
apa yang ada dibumi sebagai penjelajahan bagi kaum yang berfikir. Tidak lupa
sholawat serta salam kami curahkan kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir zaman. Dan sungguh
berkat limpahan rahmat -Nya penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah
yang berjudul “Qiyas” ini demi memenuhi tugas mata kuliah
Tarikh Tasri.
Penyusunan
makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu penyusun mengucapkan banyak terimakasih, khususnya kepada Bapak Drs. Drs.
Ngadi Suryono selaku dosen pembina kami.
Kami
menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga
dengan segala kerendahan hati kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun demi lebih baiknya kinerja kami yang akan mendatang.
Semoga
makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan informasi yang
bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamualaikum warrahmatullahi
wabarakatuh
Wates, Mei 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah............................................................... 1
B.
Rumusan Masalah....................................................................... 1
C.
Tujuan Penulisan......................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qiyas......................................................................... 2
B.
Unsur-unsur Qiyas....................................................................... 3
C.
Qiyas Sebagai Dalil Hukum Syara.............................................. 3
D.
Syarat-Syarat Qiyas..................................................................... 5
E.
Pembagian Qiyas......................................................................... 7
F.
Tempat Berlakunya Qiyas........................................................... 9
G.
Perbedaan Antara Ijtihad Dengan Qiyas.................................... 10
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang masalah
Qiyas merupakan
suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara dalam hal-hal
yang nash Al-Quran dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Pada
dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra’yu yaitu: penggunaan ra’yu
yang msih merujuk kepada nash dan penggunaan ra’yu secara bebastanpa mengaitkannya
kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana disebut qiyas.
Dasar pemikiran
qiyas itu adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab. Hampir
dalam setiap hukum diluar bidang ibadat dapat diketahui alasan rasional
ditetapkannya hukum itu oleh Allah. Alasan hukum rasional oleh ulama disebut “iillat”.
Atas dasar keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah, maka setiap
muslim meyakini bahwa setiap kasus atau peristiwa yang terjadi pasti ada
hukumnya.sebagian hukum dapat dilihat secara jelas dalam nash syara, namun
sebagian yang lain tidak jelas.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian
Qiyas?
2. Apa Unsur-unsur
Qiyas?
3. Mengapa Qiyas
Sebagai Dalil Hukum Syara?
4. Apa
Syarat-Syarat Qiyas?
5. Apa Perbedaan
Antara Ijtihad Dengan Qiyas?
C. Tujuan
Penulisan
1. MengetahuiPengertian
Qiyas.
2. Mengetahui Unsur-unsur
Qiyas.
3. MengetahuiQiyas Sebagai
Dalil Hukum Syara.
4. Mengetahui Syarat-Syarat
Qiyas.
5. Mengetahui Perbedaan
Antara Ijtihad Dengan Qiyas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Qiyas
Secara etimologis kata “qiyas” berarti “qadar”
artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan semisalnya.[1] Hasby
ash Sidieqy mengartikan qiyas secara bahasa yakni mengukur dan memberi batas.
Menurut istilah ahli ushul ialah: “menghubungkan hukum sesuatu pekerjaan kepada
yang lain, karena kedua pekerjaaan itu sebabnya sama yang menyebaban hukumnya
juga sama”.[2]
Redaksi yang berbeda di jelaskan oleh Sulaiman Abdullah mengenai istilah yang
disampaikan oleh ahli ushul yakni:”qiyas adalah mempersamakan satu peristiwa
hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang
ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan
nash.[3]
Tentang arti qiyas menurut terminology (istilah
hukum) terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya.
Diantara definisi-definisi tersebut yakni :
1. Al-Gazali dalam
al-Mustashfa memberi definisi qiyas:“menanggungkan sesuatu yang diketahui
kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau
meniadakan hukum dan keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya,
dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum’.
2. Qadhi Abu Bakar
memberikan definisi yang mirip dengan definisi di atas dan disetujui oleh
kebanyakan ulama, yaitu: “menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu
yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum
dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
3. Abu Hasan
al-Bashri memberikan definisi: “Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada
“furu” karena keduanya sama dalam illat hukum menurut mujtahid”[4] Dan
masih banyak lagi pendapat ulama lainnya.
B.
Unsur-unsur
Qiyas
Mengenai
hakikat qiyas terdapat empat unsur (rukun) pada setiap qiyas, yaitu:
1. Suatu wadah
atau hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh pembuat hukum. Ini disebut
“maqis alaihi” atau “ashal” atau “musyabah bihi”.
2. Suatu wadah
atau hal yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dalam nash syara. Ini
disebut “maqis”atau”furu”atau”musyabbah”.
3. Hukum yang
disebutkan sendiri pembuat hukum (syari) pada Ashal. Berdasarkan kesamaan ashal
itu dengan furu,dalam illatnya para mujtahid dapat menetapkan hukum pada furu .
ini disebut hukum ashal.
4. Illat hukum
yang terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh mujtahid pada furu.[5]
C.
Qiyas Sebagai
Dalil Hukum Syara
Dalam
hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara, Muhammad Abu
Zahrah membagi tiga kelompok, yaitu:
1. Kelompok jumhur
ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara. Mereka menggunakan qiyas dalam
hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Quran atau Sunnahdan dalam ijma
ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampui
batas kewajaran.
2. Kelompok ulama
Zahiriyah dan Syiah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak.
Zhahiriyah juga menolak penemuan illat
atas suatu hukum Dan tidak menganggap perlu mengetahui tujuan ditetapkannya
suatu hukum syara.
3. Kelompok yang
menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Merekapun berusaha menggabungkan dua
hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya, kadang-kadang memberi
kekuatan yang lebih tinggi kepada qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi
keumuman sebagian ayat Al-quran atau Sunnah.[6]
Dalil
yang dikemukakan jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syara adalah:
1. Dalil Al-Quran
a)
Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan
qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana terdapat dalam surat yasin
ayat 78-79 yang artinya:”Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa
kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang
belulang, yang Telah hancur luluh?"Katakanlah: "Ia akan dihidupkan
oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan dia Maha mengetahui
tentang segala makhluk.”
b)
Allah menyuruh menggunakan qiyas sebagaiman
dipahami dari beberapa ayat al-Quran seperti dalam surat al-Hasr ayat 2
c)
Firman Allah dalam surat an-Nisa ayat ayat 59
2. Dalil Sunnah
a)
Hadis mengenai percakapan Nabi dengan uadz Ibn
Jabal saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi penguasa disana.
b)
Nabi member petunjuk kepada sahabatnya tentang
penggunaan qiyas dengan membandingkan antara dua hal, kemudian mengambil
keputusan atas perbandingan tersebut.
3. Atsar Sahabat
Adapun
argumentasi jumhur ulama berdasarkan atsar sahabat dalam penggunaan qiyas
adalah;
a)
Surat Umar ibn Khatab kepada Abu Musa al-Asyari
sewaktu diutus menjadi qadhi di yaman.
b)
Para sahabat Nabi banyak menetapkan pedapatnya
berdasarkan qiyas. Misalnya contoh yang populer adalah kesepakatan sahabat
menggangkat Abu Bakar menjadi khalifah pengganti Nabi.[7]
D.
Syarat-Syarat
Qiyas
1.
Maqis alaihi (tempat menqiyaskan sesuatu
kepadanya). Syarat-syaratnya:
a)
harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan
mengqiyaskan sesuatu kepadanya, baik secara nau’I atau syakhsi (lingkungan yang
sempit atau terbatas).
b)
harus ada kesepakatn ulama tentang adanya illat
pada ashal maqis alaih itu.
2.
Maqis (sesuatu yang akan dipersamakan hukumnya
dengan ashal) :
a)
illat yang terdapat pada furu memiliki kesamaan
dengan illat yang terdapat pada ashal.
b)
harus ada kesamaan antara furu itu dengan ashal
dalam hal ilat maupun hukuum baik yang menyangkut ain atau jenis dalam arti
sama dalam ain illat atau sejenis illat dan sama dalam ain hokum atau jenis
hukum.
c)
Ketetapan pada hukum tidak menyalahi dalil
qat’i.
d)
Tidak terdapat penentang hukum lain yang lebih
kuat terhadap hukum pada furu dan hukum dalam penentang itu berlawan dengan
illat qiyas itu.
e)
Furu itu tidak pernah diatur hukumnya dalam
nash tertentu.
f)
Furu itu tidak mendahului ashal dalam
keberadaannya.
3.
Hukum Ashal adalah hukum yang terdapat pada
suatu wadah maqis alaihi yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan hukum
itu pula yang akan diberlakukan pada furu. Adapu yang menjadi syarat-syaratnya
:
a)
Hukum ashal itu adalah hukum syara, karena
tujuan qias syari adalah untuk mengetahui hukum syara pada furu.
b)
Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash bukan
dengan qiyas.
c)
Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap
berlaku, bukan hukum yang telah di nasakh.
d)
Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan
qiyas.
e)
Hukumashal itu harus disepakati oleh ulama.
f)
Dalil yang menetapkan hukum ashal secara
langsung tidak menjangkau kepada furu.
4.
Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi
adanya suatu hukum.
a)
Bentuk-bentuk illat
a.
Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai oleh
akal dengan sendirinya tanpa bergantung kepada urf atau lainnya.
b.
Sifat hissy, yaitu sifat atau sesuatu yang
dapat diamati oleh alat indra.
c.
Sifat urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur
namun dapat dirasakan bersama.
d.
Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui
dari penamaannya dalam artian bahasa.
e.
Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya
sebagai bentuk hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum.
f.
Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa
sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum.
b)
Fungsi illat
a.
Penyebab/penetap yaitu illat yang dalam
hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau penetap adanya hukum, baik
dengan nama mu’arif ,muassir, atau baits.
b.
Penolak yaitu illat yang keberadaannya
menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tuidak mencabut hukum itu
seandainya ilat tersebut terdapat pada saat hukum tengah beraku.
c.
Pencabut, yaitu illat yang mencabut
kelangsungan suatu hukum bila illat itu terjadi dalam masa tersebut.
d.
Penolak atau pencegah, yakni illat yang
hubungannya dengan hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus
dapat mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung.
c)
Syarat-syarat illat
a.
Illat itu harus mengandung hikmah yang
mendorong pelaksanaan suatu hukum dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
b.
Illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan
dapat disaksikan.
c.
Illat itu harus dalam bentuk sifat yang
terukur, keadaannya jelas dan terbatas, sehingga tidak tercampur dengan yang
lainnya.
d.
Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan
antara hukum dengan sifat yang akan menjadi illat.
e.
Illat itu harus mempunyai daya rentang.
f.
Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu
tidak dipandang untuk menjadi illat.[8]
E.
Pembagian Qiyas
Pembagian
qiyas dapat dilihat dari berbagai segi sebagai berikut:
1.
Pembagian qiyas dari segi kekuatan illat yang
terdapat pada furu, dibandingkan pada ilat yang terdapat pada ashal.
a.
Qiyas awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum
pada furu lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat
pada furu.
b.
Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum
pada furu sama keadannya dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan
illatnya sama.
c.
Qiyas adwan, yaitu yang yang berlakunya hukum
pada furu lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipu
qiuas tersebut memenuhi persyaratan.
2.
Pembagian qiyas dari segi kejelasan illatnya
a.
Qiyas jali, yaitu qiyas yang illlatnya
ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal atau tidak ditetapkan
illat itu dalam nash, namun titik pembedaan antara ashal dengan furu dapat
dipastikan tidak ada pengaruhnya.
b.
Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak
disebutkan dalam nash. Maksudnya diistinbatkan dari hukum ashal yang
memungkinkan kedudukan illatnya bersifat zhanni.
3.
Pembagian qiyas dari segi keserasian illatnya
dengan hukum;
a.
Qiyas muatsir, yang diibaratkan dengan dua
definisi Pertama, qiyas yang illat penghubung antara ashal dan furu
ditetapkan dengan nash yang syarih atau ijma. Kedua,qiyas yang ain sifat
(sifat itu sendiri) yang menghuubungkan ashaldengan furu itu berpengaruh
terhadap ain hukum.
b.
Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang illat hukum
ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.
4.
Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau
tidaknya illat pada qiyas itu
a.
Qiyas ma’na atau qiyas dalam makna ashal, yaitu
qiyas yang meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antar ashal
dengan furu tidak dapat dibedakan, sehingga furu itu seolah-olah ashal itu
sendiri.
b.
Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya
dijelaskan dan illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum dalam
ashal.
c.
Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan
pendorong bagi penerapan hukum itu sendiri namun ia merupakan keharusan
(kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya illat.
5.
Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang
digunakan dalam ashal dan dalam furu.
a.
Qiyas ikhalah, yaitu qiyas yang illat hukumnya
ditetapkan melalui metode munasabah dan ikhalah.
b.
Qiyas syabah, yaitu qiyas yang hukum ashalnya
ditetapkan melalui metode syabah.
c.
Qiyas sabru, yaitu qiyas yang illat hukum
ashalnya ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
d.
Qiyas thard, yaitu qiyas yang illat hukum
ashalnya ditetapkan melalui thard.[9]
F.
Tempat
Berlakunya Qiyas
Sebagian ulama diantara Imam Syafi’I
berpendapat bahwa qiyas berlaku pada semua hukum syariah, meskipun dalam
perkara hudud, kafarat, taqditar (hukum-hukum yang telah ditetapkan) dan
hukum-hukum rukhsah, yakni hukum-hukum perkecualian, apabila syarat-syaratnya
sudah terpenuhi. Sebab dalil yang mendukung atas kehujjahannya tidak
membeda-bedakan antara satu macam hukum dengan hukum-hukum lainnya.
Ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat bahwa
qiyas tidak berlaku pada masalah hudud (pidana yang telah ditetapkan nash). Sebab
ia termasuk batas yang telah ditetapkan Allah yang tidak bisa diketahui
illatnya oleh akal. Seperti seratus cambukan bagi pezina. Disamping itu ialah
karena dapat ditolak atau dihilangkan dengan kesyubhatan (ketidak jelasan
terjadinya). Sedangkan qiyas juga subhat, sebab ia menunjukan pada hukum dengan
cara dzanny bukan qat’i. Maka uqubat yang telah diwajibkan tidak bisa
ditetapkan kecuali dengan dalil yang qat’i. Adapun soal uqubat yang tidak
ditentukan bentuk pidananya, yang disebut dengan “Ta’zir” maka qiyas dalam soal
ini dapat berlaku. Demikian menurut kesepakatan para ulama Fiqh.
Qiyas juga tidak berlaku dalam soal kafarat.
Sebab, kafarat juga berarti uqubat, maka hukumnyapun sama dengan uqubat.
Demikian pula qiyas tidak berlaku pada soal rukhsah, sebab ia merupakan hadiah
ari Allah SWT, maka tidak berlaku qiyas padanya.
Begitu juga qiyas tidak berlaku dalam masalah
ibadah. Maka qiyas tidak berlaku pada pokok-pokok ibadah. Dan tidak sah
menciptakan ibadah dengan cara mengqiyaskan pada ibadah yang sudah ada
ketetapannya. Qiyas juga tidak berlaku pada sesuatu yang akal tidak mengetahui
maksud dan tujuannya baik dari segi hukum maupun bagian-bagiannya, sehingga
tidak boleh mensyariatkan sesuatu ibadah yang tidak diizinkan Allah SWT.[10]
G.
Perbedaan
Antara Ijtihad Dengan Qiyas
Ijtihad mengenai kejadia-kejadian baik yang ada
nash, tetapi dzanni wurudnya dan dalalahnya dan yang tak ada nash. Ijtihad yang
ada nash dzanni, adalah untuk menentukan apa yang harus kita pahami dan untuk
mengetahui apakah itu ‘am atau khas. Dan kalau dia ‘am apakah dia masih tetap
‘am atau mutlaq atau mukayyad. Ijtihad terhadap yang tidak ada nash ialah
menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, ataupun
dengan dalil yang lain yang dibenarkan syara.
Bidang qiyas ialah kejadian-kejadian yang tidak
ada nash tetapi terdapat dalam syara, sesuatu pokok untuk diqiyaskan kepadanya.
Maka qiyas adalah sesuatu sumber ijtihad, sedang ijtihad itu lebih umum dari
pada qiyas. Dan kadang pula ijtihad dengan qiyas dipandang sama. Diantara
perbedaan-perbedaan ijtihad dengan qiyas ialah qiyas yidak dapat berlaku dalam
bidang ibadah, hudud dan kafarat, sementara ijtihad dapat dilakukan disegala
bidang.[11]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Qiyas adalah suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum
syara dalam hal yang nash Al-Quran dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara
jelas. Ada dua macam cara penggunaan
ra’yu yakni penggunaan ra’yu yang masih merujuk kapada nash dan penggunaan ra’yu
secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana
disebut qiyas. Dasar qiyas adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dan
sebab.
Hal-hal atau kasus yang ditetapkan Allah
hukumnya sering mempunyai kesamaan dengan kasus lain yang tidak ditetapkan
hukumnya. Meskipun asus lain itu tidak dijelaskan hukumnya oleh Allah, namun
karena adanya kesamaan dalam hal sifatnya dengan kasus yang ditetapkan
hukumnya, maka hukum yang sudah ditetapkan dapat diberlakukan kepada kasus lain
tersebut.
Atas dasar keyakinan bahwa tidak ada yang luput
dari hukum Allah,maka setiap muslim meyakini bahwa setiap peristiwa yang
terjadi pasti ada hukumnya. Sebagian hukum dapat dilihat secara jelas dalam
nash syara namun sebagian lain tidak jelas. Dengan konsep mumatsalah
peristiwa yang tidak jelas hukumnya itu dapat disamakan hukumnya dengan yang
ada hukumnya dalam nash. Usaha meng-istinbath dan penetapan hukum yang
menggunakan metode penyamaan ini disebut ulama ushul dengan qiyas (analogi)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Sulaiman,Sumber
Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar Grafika,2004
As
Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi,Pengantar Hukum Islam,Semarang: Pustaka
Rizki Putra,1997
Departemen Agama RI, Al-quran dan Terjemahannya Al Jumanatul Ali, Bandung; Penerbit
J-ART,2004
Hallaq,Wael B.,Sejarah
Teori Hukum Islam Pengantar Untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni,Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2001
Syarifuddin,Amir,Ushul
Fiqh I,Jakarta: Kencana,2009
Syukur,Syarmin,Sumber-Sumber
Hukum Islam,Surabaya: Al-Ikhlas,1993
[1]Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta:Kencana,2008),hlm.158
[2]Teungku Muhammd Hasbi Ash Sidieqy,Pengantar
Hukum Islam,(Semarang;Pustaka Rizki Putera,2001),hlm.200
[3]Sulaiman Abdullah,Sumber Hukum Islam
Permasalahan dan Fleksibilitasnya , (Jakarta:Siinar Grafika,2004),hlm.82
[4]Syarifuddin,Ushul…,hlm.158-159
[5]Ibid,.hlm.164
[6]Ibid.,hlm.164-167
[7]Ibid.,hlm.164-172
[8]Ibid,.hlm.180-193
[9]Ibid.,hlm.219-223, dan Ash Sidieqy,Pengantar..,hlm.203-214
[10]Syarmin Syukur,Sumber-Sumber Hukum Islam,(Surabaya:Al-Ikhlas,1993),hlm.167-168
[11]Teungku Muhammd Hasbi Ash Shiddieqy,Pengantar
Ilmu Fiqh,(Semarang: Pustaka Rizki utra,1997),hlm.201-202
Tidak ada komentar:
Posting Komentar