Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu mengatakan,
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan kepadaku
empat kalimat, yaitu:
ﻟَﻌَﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻣَﻦْ ﺫَﺑَﺢَ ﻟِﻐَﻴْﺮِ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻭَﻟَﻌَﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻣَﻦْ ﻟَﻌَﻦَ
ﻭَﺍﻟِﺪَﻳْﻪِ، ﻭَﻟَﻌَﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻣَﻦْ ﺁﻭَﻯ ﻣُﺤْﺪِﺛًﺎ، ﻭَﻟَﻌَﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻣَﻦْ
ﻏَﻴَّﺮَ ﻣَﻨَﺎﺭَ ﺍْﻷَﺭْﺽِ
“Allah melaknat orang yang menyembelih hewan untuk selain Allah,
Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat
orang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat orang yang
mengubah tanda-tanda di muka bumi ini.” (HR. Muslim)
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas menyebutkan
tentang empat golongan manusia yang dilaknat oleh Allah subhaanahu wa
ta’aalaa. Orang yang dilaknat oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa
maksudnya adalah dijauhkan dari rahmat (kasih sayang)-Nya. (Lihat Fathul
Majid)
Pembaca yang semoga dirahmati Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Kita
semua berharap agar Allah subhaanahu wa ta’aalaa senantiasa mencurahkan
rahmat-Nya kepada kita. Kita tidak ingin rahmat Allah subhaanahu wa
ta’aalaa itu dicabut dari diri kita walaupun sesaat. Di samping rahmat
Allah subhaanahu wa ta’aalaa itu diraih dengan berusaha untuk bertakwa
kepada-Nya sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Dan bertakwalah kepada Allah, supaya kalian mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)
Juga rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa itu diraih dengan menjauhi
maksiat kepada-Nya, terutama kemaksiatan yang disebutkan secara tegas
akan menjauhkan pelakunya dari rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa
sebagaimana dalam hadits di atas.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui apa saja dan
bagaimana bentuk perbuatan-perbuatan tersebut, bukan dalam rangka untuk
dikerjakan, tetapi agar kita bisa menjauhinya.
1. Menyembelih Hewan untuk selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa
Makna menyembelih hewan untuk selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa adalah:
Pertama, menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada selain
Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Kewajiban terbesar seorang hamba adalah
mentauhidkan Allah subhaanahu wa ta’aalaa, yaitu dengan mempersembahkan
segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Menyembelih hewan merupakan salah
satu bentuk ibadah yang apabila dipersembahkan kepada selain Allah
subhaanahu wa ta’aalaa, maka pelakunya telah berbuat syirik. Allah
subhaanahu wa ta’aalaa berfirman (artinya):
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku
hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya.”
(Al-An’am: 162-163)
Dalam ayat ini, Allah subhaanahu wa ta’aalaa memerintahkan Nabi-Nya
shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengabarkan kepada kaum musyrikin
bahwa beliau adalah orang yang mempersembahkan shalat dan sembelihannya
hanya kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Ini sebagai upaya menyelisihi
kaum musyrikin yang memiliki kebiasaan beribadah kepada selain Allah
subhaanahu wa ta’aalaa dan menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada
selain-Nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Sangat disayangkan, kebiasaan menyembelih untuk selain Allah
subhaanahu wa ta’aalaa telah menjadi bagian dari ritual dan tradisi di
sebagian masyarakat muslimin di negeri ini.
Sebagai contoh, ritual untuk menolak bala yang dikhawatirkan menimpa
daerah tertentu. Upacara ini diwujudkan dengan menyembelih seekor kerbau
lalu mempersembahkan kepalanya kepada jin penguasa (menurut keyakinan
mereka) di daerah itu.
Kedua, menyembelih hewan dengan menyebut selain nama Allah
subhaanahu wa ta’aalaa. Al-Imam an-Nawawi rahimahullaahu telah
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menyembelih untuk selain Allah
subhaanahu wa ta’aalaa adalah menyembelih dengan menyebut selain nama
Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Beliau juga menyebutkan bahwa tidak halal
daging sembelihan tersebut. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Imam
asy- Syafi’i rahimahullaahu. (Lihat Syarh Shahih Muslim)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengabarkan bahwa
ada seseorang yang dimasukkan ke dalam surga disebabkan seekor lalat,
dan adapula orang yang dimasukkan ke dalam neraka juga disebabkan karena
seekor lalat. Para sahabat pun bertanya-tanya, bagaimana bisa demikian?
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menceritakan bahwa pada
zaman dahulu ada dua orang yang melewati suatu perkampungan yang
penduduknya memiliki sebuah berhala yang mereka ibadahi. Mereka tidak
mengizinkan seorang pun melewati kampung tersebut sebelum dia
mempersembahkan sesuatu (semacam sesajen) untuk berhala tadi.
Satu di antara dua orang tadi mengaku tidak memiliki sesuatu pun
untuk dipersembahkan kepada berhala itu. Penduduk kampung itu tetap
memaksanya, dan tidak mengapa walaupun hanya mempersembahkan seekor
lalat. Akhirnya orang itu menuruti kemauan mereka, lalu dia membunuh
seekor lalat dan mempersembahkannya kepada berhala tersebut. Dia pun
diizinkan lewat. Namun akhirnya dia menjadi penghuni neraka.
Adapun orang yang satunya, dia tetap bersikeras tidak mau
mempersembahkan sesuatu pun kepada berhala itu. Dia menegaskan bahwa dia
tidak akan mempersembahkan sesuatu kepada siapapun selain Allah
subhaanahu wa ta’aalaa. Akhirnya penduduk kampung itupun membunuhnya,
namun Allah subhaanahu wa ta’aalaa memberikan balasan kepadanya berupa
surga. (HR. Ahmad)
2. Melaknat Kedua Orang Tua
Di dalam Al-Qur’an, perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang
tua seringkali diletakkan beriringan dengan perintah untuk beribadah
kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Setelah seseorang melaksanakan
kewajiban terbesar (yaitu beribadah kepada Allah subhaanahu wa
ta’aalaa), maka kewajiban besar berikutnya adalah berbuat baik kepada
kedua orang tuanya.
Ini menunjukkan bahwa kedua orang tua itu memiliki kedudukan yang
tinggi dan mulia di hadapan anak-anaknya. Sebaliknya, durhaka kepada
kedua orang tua merupakan dosa terbesar yang menduduki peringkat kedua
setelah dosa menyekutukan Allah subhaanahu wa ta’aalaa (syirik).
Mencela kedua orang tua termasuk bagian dari perbuatan melaknat
mereka. Juga termasuk salah satu bentuk sikap durhaka seorang anak
kepada orang tuanya. Apakah mungkin ada seseorang yang tega mencela dan
mencaci orang tuanya sendiri? Mari kita perhatikan sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berikut:
“Termasuk dosa besar adalah celaan seseorang kepada kedua orang
tuanya. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang
yang berani mencela kedua orang tuanya?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, yaitu
ketika dia mencela ayah orang lain kemudian orang itu balas mencela
ayahnya, dan atau ketika dia mencela ibu orang lain kemudian orang itu
balas mencela ibunya.” (HR. Muslim)
Sehingga celaan seorang anak kepada orang tuanya itu tidak hanya
sebatas celaan secara langsung di hadapan keduanya. Sikap seseorang yang
mencela orang tua saudaranya, yang menyebabkan saudaranya itu membalas
mencela orang tuanya, ini pun juga tergolong celaan kepada orang tua,
walaupun itu terjadi secara tidak langsung.
3. Melindungi Pelaku Kejahatan
Islam adalah agama yang adil dan mendorong umatnya untuk berbuat
adil. Setiap pelaku kejahatan sudah semestinya mendapatkan balasan dan
hukuman yang setimpal dengan kejahatan yang diperbuatnya. Ini semua
telah diatur berdasarkan aturan syari’at yang mulia ini.
Oleh karena itulah orang yang melindungi pelaku kejahatan hingga
akhirnya terbebas dari hukuman, atau mendapatkan hukuman yang lebih
ringan (tidak setimpal) menurut hukum yang telah ditetapkan syari’at
ini, maka berarti dia termasuk orang yang telah menghalangi
diberlakukannya aturan syari’at yang wajib bagi umat Islam untuk
menerapkannya.
Kalimat ﻣُﺤْﺪِﺛًﺎ ﺁﻭَﻯ (melindungi pelaku kejahatan) dalam hadits di
atas, juga diriwayatkan dengan mem-fathah-kan huruf dal ( ﻣُﺤْﺪَﺛًﺎ
ﺁﻭَﻯ) yang berarti meridhai dan membela perbuatan ﻣُﺤْﺪَﺙٌ (segala
sesuatu yang diada-adakan dalam agama ini (bid’ah) yang tidak pernah
dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Dari makna
inilah, sebagian ulama menyebutkan bahwa kejahatan itu tidak hanya dalam
perkara fisik saja (pencurian, pembunuhan, dan sebagainya), namun juga
termasuk kejahatan dalam masalah agama ini, yaitu dengan mengada-adakan
syari’at baru dalam urusan agama yang tidak pernah dituntunkan oleh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Apapun bentuk kejahatan itu, ketika seseorang berupaya untuk
melindungi pelakunya, maka dia terkenai ancaman akan dijauhkan dari
rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa.
4. Mengubah Tanda di Muka Bumi
Islam sangat menjaga hak dan kehormatan umat manusia seluruhnya.
Tidak boleh bagi seorang muslim untuk berbuat zalim terhadap siapapun,
baik terhadap orang kafir, terlebih lagi terhadap saudaranya sesama
muslim. Seorang muslim juga dilarang mengganggu saudaranya, merugikan,
menyusahkan, terlebih lagi mencelakakannya.
Perbuatan mengubah tanda-tanda di muka bumi, secara langsung maupun
tidak, merupakan bentuk kezaliman kepada orang lain karena hal ini
mengakibatkan orang tersebut mengalami kerugian dan kesusahan. Beberapa
bentuk perbuatan yang digolongkan mengubah tanda-tanda di muka bumi
antara lain:
Pertama, mengubah tanda (batas) tanah. Contohnya seperti
mengambil sebagian tanah tetangganya dengan cara menggeser tanda
(semisal patok) batas tanah antara tanah miliknya dan milik tetangga.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang mengambil satu jengkal saja tanah (yang bukan
miliknya) secara zhalim, maka akan dikalungkan padanya tujuh lapis bumi
pada hari kiamat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kedua, mengubah tanda, petunjuk, maupun rambu-rambu yang telah
terpasang di suatu jalan. Misalnya ada sebuah rambu yang mencantumkan
arah (ditandai dengan tanda panah) menuju kota tertentu, kemudian rambu
tersebut diubah sehingga menunjukkan arah yang salah. Hal ini
mengakibatkan tersesatnya orang yang melakukan perjalanan menuju kota
tersebut dengan bersandar pada rambu yang salah tadi.
Ketiga, memberikan petunjuk yang salah kepada orang yang
bertanya tentang arah tempat tertentu kepadanya. Tentunya orang tersebut
menjadi tersesat dan salah jalan karenanya.
Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu kepada kami, sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha Melimpahkan rahmat.
Wallahu a’lamu bish shawab.
Penulis: al-Ustadz Abu Abdillah Kediri hafizhahullaahu
Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/empat-golongan-manusia-yang-dilaknat-oleh-allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar